26 Februari 2015 pukul 4:27
Ini adalah catatan yang saya tulis untuk membalas catatan yang Allyra tulis. /apasih
Halo,
Allyra, apa kabar? Aku di sini sedang kesulitan berfikir untuk
menuliskan sesuatu yang berbau kontra tentang apa yang kamu tulis, tau!
Kamu curang deh. Tulisanmu terlalu baik, dan sangat berbobot. Bagaimana
bisa aku melakukan kontra pada tulisanmu yang memang terkadang sangat
sulit untuk aku sangkal? #ea
Pada kenyataannya kamu
memang selalu pintar dan aku selalu payah. Tapi karena perbedaan itu
kita bisa bersama, ya? Saat aku mulai mengambil keputusan atau bertindak
dengan payah yang membuahkan banyak kesalahan, dengan kepintaranmu yang
selalu cepat dalam membuat keputusan yang kebanyakan tepat, kamu
membuat segala kepayahanku menjadi sesuatu yang menghasilkan sedikit,
bahkan tidak ada kesalahan. Boleh, aku memanggilmu, pahlawan? Pahlawan
Iyak. Menjijikkan.
Tapi meskipun aku selalu payah,
separuh diriku bisa mengimbangi dirimu, kan? Sisi cerdasku – mungkin
hanya 10%, terutama sisi gilaku yang paling banyak memberi warna pada
kebersamaan kita. Yaaa, kan? Yaaaa, kan? Wkwk.
Well, saya rasa cukup basa-basinya.
Tentang langit,
Langit itu laut.
Mungkin
saya memang anak ipa, dan saya selalu bergulat dengan pelajaran ipa
setiap harinya di sekolah. Tapi, saya tidak pernah tau sebelumnya
mengapa langit dan laut itu berwarna biru. Saya baru mengetauhinya lewat
teman saya yang berpengetahuan luas, Allyra.
Sekitas
12 tahun lalu, ketika itu saya berumur 5 tahun, saya telah menciptakan
teori bahwa langit itu adalah laut, langit berubah menjadi laut, pada
hari kiamat nanti. Iya, waktu itu saya mendapat cerita tentang hari
kiamat dari seorang teman kecil saya, katanya jika hari kiamat tiba,
langit akan runtuh, dan semua makhluk akan mati.
Saya
percaya pada ceritanya. Saya memutar-mutar kembali cerita itu dalam
kepala. Lalu saya berlari ke lapangan hijau yang tidak jauh dari rumah
saya untuk berpikir. Saya selalu melakukannya setiap kali saya ingin
ketenangan dan berpikir dengan fokus. Karena hanya di lapangan itulah
saya bisa dengan mudah menatap langit tanpa harus terhalangi oleh
atap-atap rumah dan kabel-tiang listrik, memanjat pohon yang tinggi
tanpa harus di marahi, dan tidur diantara rumput-rumput yang menari-nari
karena nyanyian angin. Suasana seperti itulah yang bisa membuat saya
berpikir jernih.
Saat hari kiamat nanti, langit akan runtuh, dan semua makhluk akan mati.
Saya
berpikir keras untuk kalimat itu. Bagaimana tidak, kata-kata seberat
itu mana bisa dengan mudah dicerna oleh anak TK? Sangat sulit dicerna,
men! Saya menatap langit dalam-dalam, sambil meletakkan kepala di atas
tangan seperti bantal. Seolah langit menatap saya dalam-dalam pula, lalu
bercerita tentang dirinya lewat khayalan saya, dan teori langit itu
laut pun muncul.
Keesokan harinya di TK...
“Teman-teman, nanti pas hari kiamat, langit runtuhnya itu jadi laut, lho! Ayo sekarang ikut aku keluar!”
Semua
teman-teman saya berlari mengikuti saya. Saat itu saya sedang berlari
menuju kamar mandi untuk mengambil air dalam gayung, teman-teman saya
pun tetap mengikuti. Lalu saya berlari menuju sudut teras ruang kelas TK
B, di sana terdapat sebuah lubang semut, yang terdapat banyak semut
pastinya. Lalu saya menunjukkan sesuatu pada teman-teman saya.
“Baiklah, teman-teman, ini adalah rumah semut, dan di tangan kananku adalah segayung air. Perhatikan baik-baik!”
Saya menyiram lubang semut itu dengan sangat kasar, hingga semua semutnya mengapung, anggap saja semua semut itu mati.
“Lihat,
semua semutnya mati, kan? Padahal aku Cuma menyiramnya dengan segayung
air. Bagaimana jika aku menyiramnya dengan seember air? Bakal tambah
mati, kan? Nah, sekarang, bagaimana jika langit yang menyiram?”
Saya
berlari menuju halaman bermain TK, dan berhenti di tengah-tengahnya.
Kepala saya terangkat, dan menatap langit yang saat itu warnanya sedang
sangat biru. Teman-teman saya pun mengikuti saya. Semua kepala terangkat
ke atas. Dan saya melanjutkan perkataan saya.
“Nanti pas hari kiamat, kita bakal kayak semut-semut itu, rek.
Langit runtuh, berubah jadi laut. Kita disiram kayak semut-semut kecil
yang gak bisa ngapa-ngapain tadi. Kita langsung mati tenggelam. Gak ada
yang selamat.”
Semua teman kecil saya saat itu
mengangguk. Seolah mereka sangat menerima teori langit itu laut milik
saya. Saya pun senang bisa membuat teman-teman saya mempercayai cerita
itu. Dan saya sendiri pun saat itu memang berpegang teguh pada keyakinan
tentang bagaimana langit akan runtuh tersebut.
Lalu guru TK saya datang, dan menegur karena sudah seenaknya sendiri menyiram air di teras, dan keluar kelas saat pelajaran.
Yah, setidaknya sejak kecil saya sudah memiliki jiwa ke-ipa-ipaan, ya? Wkwk.
Inilah
salah satu alasan mengapa saya selalu mengawasi langit setiap
saat.dimanapun saya berada; entah pagi, entah siang, entah malam, saya
selalu menyempatkan diri untuk mengintip langit, berbicara pada langit.
Hingga sekarang, 12 tahun setelah hari itu. Bahkan sampai saya mati
nanti, urusan saya dengan langit tidak akan pernah habis.
Mulailah mengawasi langit, dan rasakan sensasinya.
Sekian.
CONVERSATION
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Ada link tulisan yang kamu balas lewat tulisan ini? Sepertinya menarik.
BalasHapusDan saya suka analogi segarnya: 'kita disiram langit'
BalasHapusSebenarnya ada, cuman sekarang akun FB Allyra sudah dihapus, jadi gak bisa kasih linknya..
HapusWkwk analogi dari anak kecil yah haha
Terimakasih. :))
HapusIni yang paling menarik. Hahahaha.. ane syukak
BalasHapusThanks uhuy. Btw aku lagi main di blogmu nihh
Hapus