expr:class='"loading " + data:blog.mobileClass'>
image1 image2 image3

- MURMURISE - | ''Karena dengan bisikan kecilku pada dunia, | aku mendapati kehidupan yang begitu memesona.'' | - ALICIA T.

February, 1st.

 
Kemarin, ada perbincangan dengan teman laki-laki yang sempat membuat saya tercengang ketika sedang asik menyantap stick keju dan bersantai di dalam mobil, sambil menunggu kembalinya si Bin dari acara tempat lesnya.
 
Sebut saja dia Dam. (emang namanya sih, paling tidak dia gak baca lah catatan ini haha)
 
Waktu itu kita sedang membicarakan banyak hal, tentang kondisi Indonesia sekarang, pendidikannya, ekonominya, hingga mengkambing-hitamkan politik sebagai salah satu alasan mengapa Indonesia menjadi seperti ini.
 
Sebenarnya ada satu orang teman perempuan saya juga ikut dalam perbincangan itu, sebut saja Sar.
 
Kalian tau sendiri kan bagaimana rumitnya sistem pendidikan di Indonesia sejauh yang kalian tau? Tak jarang banyak remaja atau anak-anak yang enggan bersekolah karenanya. Banyak dari mereka yang kesulitan mempelajari sesuatu yang tidak mereka sukai. Sebagai contoh diri saya sendiri, saya sempat merasa enggan pergi ke sekolah karena semakin hari pelajaran matematika yang diajarkan oleh guru itu semakin sulit. Semakin menyebalkan. Semakin menyakitkan. Dan semakin mematikan. Makanya, untuk ke depannya nanti, SAYA TAK MAU KULIAH DI TEMPAT YANG MENGAJARKAN MATEMATIKA AKUT YANG BENAR-BENAR MEMBUAT OTAK SAYA BERFIKIR BERKALI-KALI LIPAT DARI BIASANYA. Padahal saya dulu peserta Olimpiade Matematika tingkat SD dan mendapat urutan ke lima disana, UN SD pun nilai matematika saya 97.5, UN SMP 87.5, tapi sejak mengenal seni dan sedikit menemui “passion diri”, saya benar-benar jauh meninggalkan matematika dan beralih pada seni dan sastra. 
 
Ternyata selama ini, MATEMATIKA ADALAH PENGHALANG SAYA UNTUK MENEMUKAN KEBEBASAN SAYA. Itu. (Saya tidak membencinya)
 
Tapi mengapa saya malah curhat bodoh seperti ini.
 
Tapi benar adanya, dengan sistim pendidikan di Indonesia yang mempelajari banyak hal seperti inilah yang membuat anak-anak Indonesia terhalangi untuk bertemu dengan “DIRINYA” di umur muda. Tau kan apa yang saya maksud? Apa kalian tidak merasakannya?
 
 
Tetapi bukan perbincangan ini yang membuat saya tercengang, melainkan perbincangan tentang laki-laki. Tentang cinta.

Perbincangan tentang sesuatu yang memuakkan yang telah membuat saya tercengang.

“Lu gak bisa segampang itu ngatain si Es childish. Lu harus tau, ada dua macam cowok yang harus lu pahamin sebelum lu nilai mereka. Pertama, cowok yang sadar dan kenal apa itu cinta, apa itu hati. Kedua, cowok yang nggak tau apa itu cinta. Dia nggak pura-pura, dia emang bener-bener nggak bisa paham cinta itu apasih. Disini lu bakal sering ngerasain sakit gara-gara dia. Jadi, lu gak bisa ngatain kalo Es itu nggak dewasa. Gue aja baru ini paham, baru ini pelajarin pelan-pelan soal cinta, cinta itu gak harus....” hingga panjang dan muncul perdebatan diantara kami.
 
Memuakkan sekali, bukan?

Namun, satu hal yang saya simpulkan untuk Es darisana,
Bukan, beberapa hal.

Ternyata bukan saya orang yang akan mengenalkannya pada Cinta. Bukan saya orang yang akan membuatnya mengerti bagaimana hati dan deretan rasa itu mengalir. Dan, bukan saya orang yang mengajarkannya cara bertahan dan membangkitkan segala angan.
Bukan saya. Bukan saya orangnya.

Dan, bukan lagi kamu orang yang akan saya gapai.
Sejak malam lalu,
Tidak lagi kamu.

Saya,
 
berhenti di sini.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

!