Sudah beberapa pekan lamanya, jari terbungkam untuk menulis. Seperti tersesat, terlalu banyak hal yang memenuhi ruang pikiran hingga rasa pun tak tahu kemana ia harus merasa.
Namun akhirnya, sekarang ia tau dimana ia harus merasa:
di... mana? Ngaco.
Dan, seperti yang dikatakan Alkindi dalam video dokumenter sekolah,
"
Banyak hal terjadi,"
***
#001 Hari Kelulusan
Selamat hari kelulusan, Hey.
Kalimat yang terucap di akhir acara perpisahan sekolah, dariku, untuk diriku.
That was the first time sincerely I could enjoy the moment with self. With my-peeve self.
Setelah bertahun-tahun lamanya...
..
Pada awalnya saya tidak ingin menghadiri acara perpisahan sekolah.
Seandainya aku adalah orang yang pandai mengatur waktu dan bertanggung jawab atas deadline yang ku rencanakan sendiri, maksudnya menyelesaikan segalanya sebelum batas waktu yang ditentukan, mungkin benar hari itu aku tidak akan menghadiri acara perpisahan. Melainkan aku akan berkemas lalu pergi menuju halte dan meninggalkan Kota Batu, menghampiri Ayah yang sedang berada di Kota Marmer, sebelum akhirnya berangkat menuju Yogyakarta.
But, don't you know that shit things always happen in every single plan you have planned? But...
you know that the God's plans are more better than yours, right?
Dan karena aku, bisa dikatakan, sebagai pemegang tanggung jawab besar pada proyek terakhir di SMA, pemutaran film Catatan Akhir Sekolah, akhirnya aku pun pergi menghadirinya.
Aku pergi wisuda, dan menjadi wisudawati.
Wisuda sekolahku diadakan di ruang lapang: ruangan di Lapangan (Basket) Sekolahku. Dengan kerangka ruangan dari besi dan dinding ruang tersusun atas selingan tirai-tirai berwarna biru dan putih. Kursi-kursi besi untuk kurang lebih 600 orang tertata rapi menghadap ke arah panggung, setengahnya adalah tempat duduk bagi para wali, yang tersaji lebih rapi dari tempat duduk wisudawan wisudawati tentunya, dengan dibungkus kain dan dihias.
Sebuah jalan di tengah-tengah ruangan memisahkan jajaran kursi menjadi dua; kanan dan kiri, dan tergelar
Red Carpet di atasnya. Karena jalan itu yang akan dilalui Para Petinggi Sekolah menuju Kursi Agung yang ada di atas panggung utama, dan para tamu undangan menuju sofa kayu yang berada tepat di depan panggung. Panggung utama diapit oleh dua panggung; Panggung kiri adalah panggung untuk Paduan Suara sekolah, dan Panggung kanan ada panggung untuk Karawitan sekolah. Alunan musik jawa dan musik-musik syahdu yang dibawakan Paduan Suara dan Kelompok Karawitan saling bergantian mengiringi, membuat acara perpisahan semakin teduh dan sakral.
Sederhana, namun cukup megah.
I guess.
Sederhana, namun cukup berantakan, penampilan saya ketika itu.
I swear.
Percaya?
Hari itu saya bangun pukul empat pagi, semalam tidur pukul dua pagi. Bangun tidur disambut kejutan yang membuat saya ingin mati,
exporting project (
rendering) film semalam gagal, dan saya harus mengulang dari nol lagi. Menunggu enam jam lagi untuk menyelesaikannya. Sedang dalam waktu kurang dari tiga jam, acara wisuda sudah dimulai.
Mencoba tenang.
Pikiran pun teralihkan pada hal lain; pada kostum wisuda yang ternyata belum saya siapkan.
Mencoba tidak membuang-buang waktu, saya langsung bergegas mengetuk pintu-pintu rumah tetangga untuk mencari pinjaman setelan kebaya yang ukurannya pas dengan saya, bagaimanapun bentuknya. Ya, maklum, ukuran badan saya jauh lebih besar dibandingkan Mama, jadi saya harus meminjam pada ibu-ibu longgar.
Kenapa nggak sewa baju aja?
Kan banyak pilihannya. Tempat tinggal saya di kampung, dan di waktu sepagi itu tidak ada tempat penyewaan baju yang buka, begitu.
Tidak lama saya pun mendapatkannya, setelan kebaya, berwarna putih, saya dapatkan dari ibu-ibu tetangga di dusun sebelah.
Alhamdulillah.
Dan,
Mencoba mandi, ketika waktu menunjukan setengah jam lagi acara wisuda dimulai.
Setelahnya saya menengok kabar
rendering.
Hm, benar. masih tiga jam lagi.
Karena kutau sekarang acara wisuda sudah dimulai,
somehow I feel so relax than before. Oh, thanks, God!
Dan, karena ku tau untuk
make up di salon itu membutuhkan waktu yang lama dan harus antri serta lumayan menguras kantong, apalahdaya mantan pemain orang ketiga di serial Katakan Putus ini menghadiri wisuda dengan
make up riasan tangan sendiri, di rumah. Heu. Katakan putus.
Well, make up,
done.
Ngomong-ngomong hari itu pertama kalinya saya bisa melukis alis dengan
rapih. (
Well, yang mengenal saya, tau sendiri kan rapiku itu seperti apa? Hiks)
Sekarang rambut.
Berhubung aku bukan perempuan penggemar
women's accessories dan tidak pergi menata rambut di salon, Mama bilang aku harus menggunakan bunga segar untuk hiasan rambutku. Beliau menyarankan agar aku memetik bunga Kamboja warna putih, entah dimana. Dengan mengenakan kebaya dan riasan make up di wajah, aku pergi dan memulai pencarianku, ditemani si Bee
– my motor-mate.
Tiga puluh menit berlalu...
Saya pun pulang, dengan membawa tiga tangkai bunga warna putih yang harum, bunga Gardenia, bukan Kamboja.
Aku memetiknya dari kebun milik seorang kakek yang ada di kompleks Translok, tentu aku tidak akan mencuri walau hanya satu tangkai.
Lalu, aku langsung mengemas laptop, rendering masih kurang sejam lagi, biar kutunggu sisanya di sekolah pikirku. Mama juga sudah siap, kami pun berangkat, pukul sembilan pagi.
Sebenarnya saya sempat mengirim pesan singkat pada salah satu Petinggi Sekolah, pada Pak Amanto, yang di dalam pesannya berisi permohonan izin untuk datang terlambat di acara wisuda. Entah sempat terbaca oleh beliau atau tidak pesan itu.
Jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh.
Lalu, menata rambutnya?
Di tempat parkir sekolah. Dengan modal sisir, sebuah karet, dan satu jepit batang (warna hitam), tiga tangkai bunga Gardenia yang harum akhirnya menancap cantik di gelungan rambutku. Bauku pun wangi, seperti Kuntilanak-tiri.
"Jangan kebanyakan polah, ya, Nduk. Nanti kembange copot." kata Mama sembari menguatkan tancapan bungan dengan jepit.
Aku berpisah dengan Mama di pintu masuk. Beliau masuk ke dalam, sedang aku langsung berlari menuju belakang panggung, lewat jalan memutari tempat wisuda pastinya, untuk menemui panitia dan mempersiapkan segalanya. Beruntungnya aku mengenakan sandal gunung, membuatku bisa sampai disana dengan cepat tanpa merasakan lelah karena jalur memutar itu.
Setelah semuanya selesai disiapkan, saya baru bergabung bersama wisudawan wisudawati lainnya. Saya tak tau dimana saya harus duduk, karena kemarin saya tidak mengikuti gladi bersihnya. Seolah mengerti bahwa saya sedang kebingungan, seorang panitia dengan kostum seperti pelayan datang menghampiri saya dan menanyakan, "Kelas XII MIPA 5, kan, Mbak?"
"Iya, Dek. Aku kesulitan menemukan teman-temanku dari sini."
"Yuk,
tak antar, Mbak."
"Terimakasih," sahutku sambil melingkarkan tanganku pada lengannya.
Seingatku, saat itu sekitar pukul setengah sebelas aku baru bergabung mengikuti acara wisuda.
Sesuatu yang menggelikan muncul dari arah panggung utama ketika aku berjalan menuju kursiku. Ketika berjalan di atas karpet merah dengan anggun
–yah sekali-kali bolehlah berjalan dengan anggun, mumpung diantar dan jalan di red carpet, banyak mata yang tertuju padaku–sebenarnya tertuju pada panitia bohay yang mengantarku.
Namun di antara banyak mata itu, lima pasang mata yang berada jauh di depanku lah yang sanggup membuatku bereaksi. Bagaimana tidak, lima pasang mata itu adalah milik para petinggi sekolah yang sedang duduk di kursi agung. Mereka menatapku sambil menggelengkan kepala, aku tertawa kecil lalu tersenyum lebar, menundukkan kepalaku sesaat untuk memohon izin duduk di kursiku pada mereka.
Ada yang mengangguk, ada yang tersenyum simpul, dan ada yang mengangkat satu jari jempolnya, semua isyarat itu seolah memberikan satu jawaban yang sama untukku: "iya, silahkan duduk."
Saya pun duduk,
dan langsung menerima banyak hujatan kasih sayang dari teman-teman tercinta.
"CUUUTT?! TEKO ENDI AEEEE?!!!" (Cuuutt?! Darimana saja?!!!)
"KON GENDENG A CUT SEK TAS TEKO?!" (Lo gila, ya, jam segini baru datang!?)
"HEEEEE AREK GENDENG!!!" (Wooyy dasar gak waras!!!)
"KON MARI KETURON NDEK NDI HE... ACARA MULAI JAM 7 MAENG G*BL*K" (Lo habis tepar dimana ha... acaranya udah dari jam 7 tadi geblek!)
"YA ALLAH CUT PANCET AE..." (Ya Tuhan, Cut, tetap saja...)
"CUT? KON IKU MACAK DEWE??" (Cut? Itu lo dandan sendiri??)
...lalu timbul lah percakapan panjang dan selfie-selfie-selfie-ria di antara kami.
Damai sekali. Sudah lama saya tidak melakukan kedua hal itu bersama teman-teman kelas, keluarga saya di sekolah selama dua tahun. Heu.
Cukup lama, tiba-tiba teman di sebelahku menepuk bahuku dan mengatakan ada yang memanggilku dari kejauhan, saat kutemukan siapa sosoknya, terlihat gerak bibirnya berkata:
"CUT! LUNGGUHMU NDEK KENE, GUDUK NDEK KONO!" (Cut! Kursimu di sini, bukan di sana!) sambil menepuk kursi kosong sebelahnya. Ia adalah seorang teman satu kelas yang duduk di sebrang, jajaran kanan. Sedang saat itu aku duduk kursi paling pojok jajaran kiri.
Okay, siap berpindah galaksi~
Berpuluh-puluh menit berlalu, hingga tiba saatnya namaku dipanggil untuk maju ke depan dan bersalaman dengan para petinggi sekolah...
ble ble ble
Lalu aku kembali duduk.
Ngomong-ngomong, beruntungnya ketika memasuki tempat wisuda dan berjalan ke atas panggung untuk berjabat tangan dengan para Petinggi Sekolah, saya pakai sandal perempuan pinjaman teman, bukan sandal gunung lagi. Jadi teman-teman saya tidak malu mengakui saya sebagai temannya.
Terimakasih, Dinda.
See?
Setelan kebaya ibu-ibu longgar, menata rambut di tempat parkir, make up semampunya, serta sandal gunung dan sandal pinjaman.
It was my first graduation during school.
Then, what's next?
Benar, saatnya pemutaran film Catatan Akhir Sekolah persembahan dari Angkatan 36 SMABA;
SAXOPHONE 36. (
Klik untuk mendengarkan
official music of Saxophone 36~)
Untuk link filmnya, film belum terunggah di youtube. Karena film yang diputar ketika itu belum benar-benar selesai, tahap penyempurnaan belum dikerjakan. Jadi, mohon bersabar untuk menunggunya, ya, teman-teman angkatan. Mungkin bakal kelar lebaran nanti wqwq.
 |
Screencapture film Catatan Akhir Sekolah SMABA 36. |
Well, sebenarnya saya ingin menulis ending yang
baper di postingan ini.
Namun entah mengapa tiba-tiba saja
the feeling of baper itu menghilang. Baper tak lagi mengekang.
Oh, Akang.
**
Sedikit berdamai dengan diri...
Aku duduk sendirian di kursi paling depan, duduk seperti Bos dengan merentangkan kedua tangan dan bersandar pada sofa kayu. Berisik tawa dan candaan yang muncul dari teman-temanku selama film itu diputar membuatku semakin menikmati momen kala itu.
Seharu ini kah masa SMAku? Kenapa baru sekarang haru itu terasa? Aku... kemana saja?
Rasanya lucu menemui diri yang tiba-tiba saja takut meninggalkan masa ini. Ada apa? Bukankah ini yang kau inginkan? Untuk segera meninggalkan masa paling abu yang pernah kau rasakan. Apa kau mulai tidak waras?
Sebuah hal yang egois, ini pertama kalinya filmku disaksikan banyak orang. Sesaat aku menengadahkan wajah ke langit-langit, lalu bertanya dalam hati,
Apa yang sedang dirasakan rekan-rekanku? Apa mereka juga merasakan gejolak yang sama sepertiku melihat hasil perjuangannya mendapat tanggapan seperti ini?
Momen-momen bersama mereka pun terputar; Bagaimana emosiku yang selalu meluap-luap setiap kali bertemu kendala yang mengacau, bagaimana menyebalkannya mereka yang membicarakanku di belakang dan seringkali membuatku berhasil menahan emosi. Menahan emosi adalah hal yang paling menyiksaku, tapi mereka selalu membuatku melakukan hal itu, apalagi si Aldi. Lalu aku teringat kameramenku yang lebih menyebalkan, Grebbi, yang demi proyek terakhir ini ia rela tidak tidur semalaman hanya untuk bermain AfterEffect, padahal dia paling anti menyentuh pekerjaan lain selain tugasnya; mengambil gambar. Mengingat semua itu membuatku merasa geli dan tertawa sendiri.
Tak kusangka aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merindukan kembali masa-masa SMAku yang kuanggap hambar pun kelabu.
Tidak terasa film sudah berada pada menit terakhir. Kuhirup nafas panjang dan memejamkan mata,
Terdengar sorakan, lama-lama sorakan itu semakin keras, disusul dengan riuh tepukan tangan dari arah belakang aku duduk; dari teman-temanku dan semua orang yang telah berada disana.
How much I have to pay off for it, my God?
Haru itu menusukku lebih dalam dari sebelumnya, hingga aku merasakan sesuatu yang lama terpendam dalam diri perlahan mulai muncul kembali.
Tanpa sadar, aku mengucapkan sebuah kalimat dengan lirih, yang entah mengapa membuatku benar-benar merasa sangat ringan.
"Selamat hari kelulusan, Hey." itu yang ku ucap, untuk diriku sendiri.
Lalu aku tersadar dan bangkit dari dudukku, tersenyum selebar mungkin sambil berjalan mendekat ke arah seseorang yang juga berjalan ke arahku. Dinda, ia menghampiriku dan langsung memelukku erat dan berkata:
"Selamat, Cut! Senang bekerjasama denganmu."
"Aku juga, Mon." jawabku sambil melepas peluknya, dan menjabat tangannya dengan bangga.
Namanya Dinda Monita, semua orang biasa memanggilnya Dimon. Ia adalah aktris pasangan dari Bagas pada film Catatan Akhir Sekolah.
Tapi kenapa lo nggak ikut maju ke depan, Kampret?
...
Bonus, nih. :3
 |
Beberapa saat sebelum bergabung acara wisuda. Buku Tahunan SAXOPHONE 36 ihiww. |
 |
Cuman gua di sana yang nggak perlu jaim gerakin kepala dan kibasin rambut sesuka hati. Teehee~! |
|
 |
Temen gua, Calon Dokter yang ngeramal suatu saat nanti gua jadi gembel terus sakit lalu berobat kepadanya. Setan. |
***
Lo baca sampai sini? Hahahaha
Thanks, ya!
Coba tebak, di
Oceh Berepisode, #002 nanti saya bercerita tentang apa? Hihi.
Bye. :))